peran hutan pinus
1. Peran Hutan Dalam Pengendalian
Daur Air
Hutan dengan penyebarannya yang
luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu
menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara
lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian
daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Sebagai pengurang atau pembuang
cadangan air di bumi melalui proses :
a. Evapotranspirasi
b. Pemakaian air konsumtif untuk
pembentukan jaringan tubuh vegetasi.
2. Menambah titik-titik air di
atmosfer.
3. Sebagai penghalang untuk
sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.
4. Sebagai pengurang atau peredam
energi kinetik aliran air lewat :
a. Tahanan permukaan dari bagian
batang di permukaan
b. Tahanan aliran air permukaan
karena adanya seresah di permukaan.
5. Sebagai pendorong ke arah
perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem
perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik
di dalam tanah.
Semua peran vegetasi tersebut
bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke
tahun. Dalam keadaan hutan yang telah mantap, perubahan peran hutan mungkin
hanya nampak secara musiman, sesuai dengan pola sebaran hujannya.
Pada kawasan hutan Pinus di Daerah
Tangkapan Air Gunung Rahtawu, Kabupaten Wonogiri dengan luasan catchment area
dengan luas 101,79 ha dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2900 – 3500
mm/tahun mampu menghasilkan potensi sumberdaya air permukaan sebesar 2..232.000
m3/tahun. Kawasan ini juga mampu menghasilkan debit yang selalu tersedia untuk
dimanfaatkan (debit andalan) sebesar 2 – 67 liter/detik. Dari potensi ini saja
sebenarnya sudah dapat diprediksi bahwa kawasan hutan Pinus ini mampu mendukung
900 – 2.000 jiwa masyarakat disekitar hutan Pinus yang rata-rata membutuhkan
air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar 122 liter/orang/hari
(Suryatmojo, H., 2004).
Dari gambaran diatas, nampak jelas
bahwa peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui kemampuannya sebagai
regulator air memiliki nilai arti yang sangat penting dalam mendukung hajat
hidup masyarakat disekitar hutan.
2. Peran Hutan Sebagai Penyerap
Karbon
Siklus karbon di dalam biosfer
meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan
oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global
melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir (Tabel 1). Jika dibandingkan
dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih
sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek,
1997).
Sejumlah besar kalsium karbonat
dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari
permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari
air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di
dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 – 10
tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar
300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time
untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar
fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997 dalam Herman Widjaja, 2002).
Dari hasil inventarisasi gas-gas
rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa
pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak
6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg.
Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian
untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat
penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada
tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih
sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi.
Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002).
Banyak pihak yang beranggapan bahwa
melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar
fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting
daripada melalui carbon sink. Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon
untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran
atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke
atmosfer (Rusmantoro, 2003).
Carbon sink adalah istilah yang
kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi
hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon
ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor
industri, transportasi dan rumah tangga.
Pada kawasan hutan Pinus di DTA
Rahtawu dengan umur tegakan 30 tahun mempunyai potensi penyimpanan karbon
sebesar 147,84 ton/ha dengan prosentase penyimpanan terbesar pada bagian batang
(73,46%), kemudian cabang (16,14%), kulit (6,99%), daun (3,17%) dan bunga-buah
(0,24%). Dari data diatas dapat diprediksi kemampuan hutan pinus dalam
menyimpan karbon melalui pendekatan kandungan C-organik dalam biomas memiliki
potensi penyimpanan mencapai 44% dari total biomasnya. Sehingga DTA Rahtawu
dengan luasan 101,79 ha memiliki potensi penyimpanan karbon dalam tegakan
sebesar 15.048,5 ton, penyimpanan karbon dalam seresah sebesar 510 ton dan
dalam tumbuhan bawah sebesar 91 ton karbon. (Suryatmojo, H., 2004)
3. Peran Hutan Sebagai Penyedia
Sumberdaya Air
Ketergantungan masyarakat yang
tinggal di kawasan sekitar hutan terhadap keberadaan hutan sangat tinggi.
Kemampuan hutan sebagai regulator air mampu memberikan kontribusi dalam
penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan. Hutan Pinus di DTA Rahtawu
memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan sumberdaya air. Potensi
sumberdaya air di DTA Rahtawu dapat didekati dengan mengetahui debit bulanan
dan volume aliran bulanan, sedangkan untuk memprediksi debit andalan yang
selalu tersedia setiap saat dan dapat dipergunakan untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan masyarakat sekitar didekati dengan pengolahan data sekunder
dari hidrograf aliran untuk memperoleh debit minimumnya (debit andalan).